Revolusi Uang Sepakbola Tiongkok
- bouzanzi
- Feb 4, 2016
- 3 min read

Bursa transfer musim dingin diramaikan oleh para peserta Chinese Super League (CSL). Gelandang Chelsea Ramires dikabarkan semakin dekat ke klub CSL Jiangsu Suning dengan mahar mencapai 25 juta Poundsterling. Sebelumnya, klub yang sama juga memberi penawaran kepada Milan untuk melepas Luiz Adriano. Namun, kesepakatan transfer urung terjadi.
Rival mereka, Shanghai Shenhua juga tidak mau kalah. Kabar terbaru, mereka sedang melakukan pendekatan dengan Inter guna mendapatkan Fredy Guarin. Beberapa media Italia bahkan menyebut sudah ada deal sementara diantara kedua klub di kisaran harga 13 juta Euro.
Jauh sebelum ini CSL memang sudah kedatangan beberapa nama pemain yang akrab di telinga pecinta sepakbola. Kebanyakan dari mereka berasal dari negeri samba Brasil, seperti Vagner Love (Shandong Luneng), Jadson (Tianjin Songjiang), Renato Augusto (Beijing Guoan), dan Paulinho (Guangzhou Evergrande) yang baru bergabung tahun lalu dari Tottenham.
Ada juga beberapa nama lain di luar Brasil yang pernah dan sedang merumput di Liga Tiongkok tersebut: Asamoah Gyan (Shanghai SIPG), Didier Drogba (Shanghai Shenhua), Mohammed Sissoko, Demba Ba, dan Tim Cahill (Shanghai Shenhua). Tak hanya pemain, beberapa klub CSL pun dilatih oleh pelatih-pelatih ternama dunia semisal Luiz Felipe Scolari (Guangzhou Evergrande), Sven Goran Eriksson (Shanghai SIPG), Mano Menezes (Shandong Luneng), Alberto Zaccheroni (Beijing Guoan), dan Gregorio Manzano (Shanghai Shenhua).
Dari berbagai fakta di atas, tampak bahwa Tiongkok memang sedang berusaha kuat meningkatkan kualitas kompetisi sepakbola mereka. Sebagai sebuah negara besar bukanlah hal sulit bagi Tiongkok merealisasikan targetnya. Mereka (hampir) punya segalanya terutama dalam hal kekuatan modal. Ya, revolusi sepakbola berbasiskan modal (baca: uang) yang kuat.
Sepakbola dewasa ini tak lagi hanya sekadar sebuah olahraga. Ia sudah menjadi industri yang tentunya membutuhkan dukungan finansial yang hebat. Tak sedikit klub-klub liga Eropa yang sudah merasakan magis dari uang yang dimiliki pemilik klub.
Contoh nyata terjadi pada klub besar Inggris Chelsea. Tahun 2003, Chelsea mengalami kesulitan finansial. Saat itu Roman Abramovich datang sebagai Messiah di Stamford Bridge. Di tahun pertamanya, Abramovich sudah menggelontorkan begitu banyak uang untuk mendatangkan pemain-pemain berkelas. Mulai dari penjaga gawang hingga ke barisan penyerang.
Sebut misalnya Neil Sullivan (kiper), Glen Johnson dan Wayne Bridge (bek), Sebastian Veron, Joe Cole, Damien Duff (gelandang tengah) hingga Hernan Crespo dan Adrian Mutu (penyerang). Hasilnya? Mereka mampu finis di peringkat kedua liga dan mencapai semifinal pertama mereka di Liga Champions.
Setahun berselang era revolusi modal Chelsea menemui kejayaan. Jose Mourinho didatangkan dari Porto sebagai arsitek tim. Sama seperti musim sebelumnya, Abramovich juga mengandalkan kekuatan uangnya untuk mendatangkan pemain-pemain baru. Petr Cech (kiper), Paulo Ferreira dan Ricardo Carvalho (bek), Tiago dan Jiri Jarosik (gelandang), serta Didier Drogba dan Arjen Robben (penyerang) adalah beberapa contoh nama yang berhasil didatangkan ke Stamford Bridge. Mereka memenangkan Liga Inggris untuk kali pertama dalam 50 tahun sejarah mereka. Plus menjadi juara di Piala Liga setelah mengalahkan Liverpool di final.
Selain Chelsea tentu masih banyak klub lain semisal Manchester City, Paris Saint Germain, Zenit St Petersburg, dsb yang juga merasakan ampuhnya revolusi uang dalam sepakbola. Semakin banyak modal yang dikeluarkan klub maka prestasi yang dihasilkan juga semakin meningkat. Teori kemenangan bisa dibeli dengan uang sepertinya bukan lagi isapan jempol belaka. Dan ini sekarang yang sedang dicoba oleh klub-klub di negeri Tiongkok.
Target terdekat mereka tentu di kancah Liga Champions Asia. Dua kekuatan sepakbola Asia, Korea Selatan dan Jepang, masih mendominasi daftar juara di kompetisi elit se-Asia itu. Pohang Steelers dan Seongnam Chunma (Korsel) serta Gamba Osaka (Jepang) sudah pernah menjuarai kompetisi ini. Klub-klub Tiongkok praktis belum bisa berbicara banyak.
Tiongkok tentu berharap dengan meningkatnya kualitas kompetisi domestik mereka nantinya mampu membawa nama Timnas lebih harum di kompetisi sepakbola internasional. Semua jalan menuju kesana sedang mereka rintis. Dan salahsatunya tentu saja dengan revolusi uang di persepakbolaan negeri Tiongkok. Bisakah? Hanya waktu yang bisa menjawabnya.
Comments